Ganti Kerugian: Aspek Paling Kritis dalam Pengadaan Tanah

Ganti Kerugian: Aspek Paling Kritis dalam Pengadaan Tanah

Ganti Kerugian: Aspek Paling Kritis dalam Pengadaan Tanah

Published on   by Admin EQUATOR GROUP

Penilaian tanah untuk menentukan ganti kerugian merupakan salah satu kegiatan #paling #kritis dalam proses #pengadaan #tanah. Hal ini disebabkan karena hasil penilaian tanah bersifat #final dan #mengikat sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021, Pasal 69 ayat (3) dan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 19 Tahun 2021, Pasal 111 ayat (3). Penilaian tanah ini meliputi Tanah, Ruang atas tanah dan ruang bawah tanah, Bangunan, Tanaman, Benda yang berkaitan dengan tanah, Kerugian lain yang dapat dinilai (Permen ATR/BPN 19/2021 Pasal 110).

Oleh karena itu, proses penilaian tanah harus memenuhi kaidah #layak dan #adil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 9 ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Pasal 1 ayat (12), dan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 19 Tahun 2021 Pasal 1 ayat (2).

Sejak terbitnya UU No. 2/2020, penilaian tanah dilakukan oleh Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut #Penilai. Penilai adalah orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional, yang telah mendapat izin praktik penilaian dari Menteri Keuangan dan lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai atau harga objek pengadaan tanah.

Para penilai ini bernaung di Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). #MAPPI menerjemahkan ganti kerugian yang layak dan adil sebagai #Nilai #Penggantian #Wajar (NPW). #NPW adalah nilai yang didasarkan pada kesetaraan dengan nilai pasar atas suatu properti, dengan memperhatikan unsur luar biasa berupa kerugian non-fisik yang diakibatkan adanya pengambilalihan hak atas properti tersebut. NPW dapat dihasilkan dari kombinasi kerugian fisik dan non-fisik atas suatu objek penilaian. Kombinasi ini digambarkan sebagai penjumlahan indikasi nilai pasar atas kerugian fisik ditambah indikasi nilai atas kerugian non-fisik.

Untuk memastikan penilaian mencapai NPW, Komite Penyusun Standar Penilaian Indonesia (KPSPI) yang berada di bawah MAPPI bertanggung jawab untuk menyusun, mengembangkan, dan memperbarui Standar Penilaian Indonesia (SPI). Standar ini digunakan sebagai panduan bagi para penilai dalam melakukan penilaian yang objektif, transparan, dan sesuai dengan praktik terbaik. Dalam konteks penilaian untuk pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, telah dikembangkan SPI 204 Tahun 2018 dan Pedoman Penilaian Indonesia (PPI) 04 Tahun 2018, yang diperbaharui menjadi PPI 2024. Standar ini harus diikuti oleh setiap penilai tanah. Selain itu para penilai perlu memperhatikan Permen ATR/BPN 17/2022, khususnya Pasal 15-18.

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh penilai, terutama jika proyek dibiayai oleh donor seperti #WB, #ADB, #AIIB, #JICA, #KfW, #IFC, termasuk PT. #SMI dan #IIF yang telah mengadopsi international safeguards. Hal ini dikarenakan masih terdapat kesenjangan antara SPI 204 dan PPI 04 Tahun 2024 dengan standar penilaian international safeguards. Dalam penilaian international safeguards, tidak dikenal konsep depresiasi, sementara dalam #SPI dan #PPI, depresiasi digunakan sebagai pengejawantahan keadilan. Misalnya, bangunan baru tidak mungkin disamakan dengan bangunan lama.

Namun demikian, PPI memungkinkan perhitungan dengan pendekatan replacement cost sebagaimana international safeguards untuk perlakuan khusus sesuai dokumen perencanaan atau permintaan instansi yang membutuhkan tanah (misalnya kasus di perdesaan sulit mencari rumah second, maka harus diganti dengan nilai untuk membangun baru), yaitu dengan mengembalikan nilai depresiasi tersebut dalam bentuk premium atas beban depresiasi ditambah indikasi nilai bangunan, yang kemudian dikenal sebagai nilai RCN (replacement cost new atau biaya pengganti baru), yaitu nilai untuk bisa membangun bangunan baru. Kesenjangan lainnya adalah dalam international #safeguards, harus ada tunjangan masa transisi apabila pihak berhak direlokasi. Biaya transisi ini sebaiknya dihitung sekalian pada saat menghitung biaya pindah dan biaya masa tunggu yang telah menjadi ketentuan PPI.

Hal penting lainnya adalah penilai harus benar-benar mempelajari Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah #DPPT dan Land Acquisition and Resettlement Action Plan #LARAP jika ada, agar aspek sosial dapat dipahami dan menjadi bahan penilaian yang layak dan adil. Karena hasil penilaian bersifat final dan mengikat, maka sebisa mungkin tidak boleh ada kesalahan penilaian yang disebabkan oleh kurangnya informasi yang menjadi faktor penentu nilai. Aspek sosial harus mendapat perhatian serius apabila penilai melakukan penilaian pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang melibatkan atau berdampak pada masyarakat adat #IndigenousPeoples.

Dengan demikian, penilaian tanah yang tepat dan adil akan membantu memastikan bahwa proses pengadaan tanah berjalan dengan lancar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku, serta memenuhi prinsip keadilan bagi semua pihak yang terlibat.