
Mengapa Masih ada Penggusuran ?
Penggusuran masyarakat masih menjadi permasalahan yang sering terjadi di Indonesia, meskipun telah ada regulasi yang mengatur penanganan dampak sosial Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan kepada Masyarakat yang menguasai tanah yang digunakan untuk pembangunan nasional. Tulisan singkat ini membahas tantangan utama dan kerangka hukum terkait pengelolaan dampak sosial, serta alasan mengapa penggusuran masih sering terjadi.
Regulasi Penanganan Dampak Sosial
Dasar hukum penanganan dampak sosial dalam pengadaan tanah diatur melalui Peraturan Presiden No. 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional. Regulasi ini mencakup dua jenis proyek, yaitu Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Proyek Non-PSN, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2.
Proyek PSN dan Non-PSN
Proyek strategis nasional adalah proyek yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden mengenai percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional (pasal 2 (2) Perpres 62/2018.
Sedangkan Proyek Non-PSN diatur pada Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 20 Tahun 2020 yang menjelaskan kriteria untuk Proyek Non-PSN, antara lain: (i) royek harus mendukung kebijakan strategis nasional; (ii) proyek memiliki luas minimal 5 hektar atau nilai minimal 100 miliar rupiah; dan (iii) Lokasi proyek sesuai dengan RDTR. Jika RDTR belum ada, mengacu pada RTRW atau rencana tata ruang lainnya.
Tantangan Penanganan Dampak Sosial
Beberapa persyaratan dalam regulasi ini menjadi kendala utama dalam pelaksanaannya, sebagaimana tercantum dalam beberapa pasal, yaitu:
- penanganan dampak sosial mensyaratkan harus proyek PSN atau Non PSN (pasal 2), artınya proyek yang tidak termasuk PSN dan Non-PSN tidak bisa (ragu) menggunakan Regulasi ini, sehingga para pihak menempuh jalan yang paling ringan yaitu menggusur.
- masyarakat harus memiliki identitas atau surat keterangan kependudukan yang disahkan oleh kecamatan setempat (Pasal 4), hal ini membatasi hak warga negara mendapatkan haknya, padahal sama-sama warga negara Republik Indonesia. Kewajiban pemilik asetlah yang harusnya menjaga agar tak dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkan dan pada saat yang sama negara wajib melindungi segenap bangsa sesuai amanah UUD 45, agar memiliki kesejahteraan minimal. Bila negara belum mambu, mąka saat ada kasus yang dibahas ini maka mereka harus mendapat kesamaan hak.
- tanah harus telah dikuasai dan dimanfaatkan secara fisik selama minimal 10 tahun berturut-turut (pasal 5), hal ini debatable pada saat pelaksanaannya, siapa yang memiliki catatan akurat akan hal ini, bagaimana jika mereka yang hanya kurang sehari, dua hari untuk mentapai 10 tahun?
Syarat-syarat ini menyulitkan masyarakat yang terdampak untuk mendapatkan perlindungan atau santunan yang layak, karena pemerintah kabupaten/kota atau kementerian/lembaga menghadapi batasan-batasan tersebut.
Upaya Perbaikan
Perpres No. 78 Tahun 2023, merupakan perubahan dari Perpres No. 62 Tahun 2018 memberikan beberapa perbaikan penting:
1. Multi tafsir "tanah negara" (Pasal 3)
Pada pasal 1(1) Perpres 62/2028 disebutkan penguasaan tanah negara. Tanah negara ada dua jenis, tanah negara bebas yang belum ada alas hak di atasnya dan tanah negara terikat berupa tanah negara yang dikelola pemerintah. Pada pasal 3 Perpres 78/2023 ini dijelaskan bahwa tanah negara dalam konteks ini tanah negara yang dikelola pemerintah (bukan tanah negara bebas). Jadi kebimbangan memaknai tanah negara, menjadi lebih jelas, yaitu tanah negara yang dikelola pemerintah, bukan tanah negara bebas.
Hal ini penting karena jika penguasaan tanah negara bebas tengan itikat baik, yang memenuhi syarat sebagaimana di atur pada UU No. 2/2012, PP 19/2021 dan Permen ATR/BPN 19/2021, mereka berhak mendapåtkan ganti kerugian tanahnya. Sedangkan yang diatur pada penangan dampak sosial ini hanya santunan atas aset non-tanah.
2. Pengurangan Syarat Lama Penguasaan (Pasal 5):
Penguasaan selama 10 tahun telah diberi ruang perbaikan, yaitu pada pasal 5 (Perpres 78/2023) menyebutkan bahwa gubernur dapat menetapkan waktu penguasaan tanah yang lebih pendek dari 10 tahun, berdasarkan hasil rapat koordinasi dengan kementerian dan pemerintah daerah. Namun tidak semua kabupaten/kota mau dan mampu memproses ini, karena bagaimanapun ada usaha tambahan (additional effort).
3. Penentuan Besaran Santunan (Pasal 8):
Pada pasal 8 telah diubah selain penentuan santunan yang meliputi biaya pembersihan, mobilisasi, sewa rumah selama maksimal 12 bulan, dan/atau tunjangan kehilangan pendapatan akibat pemanfaatan tanah. Terdapat tambahan tugas tim terpadu yaitu merekomendasikan penyediaan tanah dan rumah pengganti dalam rangka permukiman kembali dan pembangunan infrastruktur dasar, fasilitas pemerintahan, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas umum sesuai kebutuhan oleh kementerian/lembaga dan/atau pemerintah daerah. Hal ini merupakan angin segar, baik bagi instansi terkait, memiliki parung hukum dålam menangani masyarakat yang terdampak, yang sangat mereka butuhkan, guna melanjutkan hidupnya.
Perlu ada yang diubah pada 2025 ini!
Meskipun ada beberapa perbaikan di atas, namun ada satu lagi ketentuan yang menghambat implmentasi regulasi ini adalah adanya ketentuan Kemenko 20/2020 yang mensyaratkan bahwa Regulasi Pendanganan Dampak Sosial ini hanya untuk Proyek PSN dan Non-PSN. Hal ini menyebabkan masih banyak penggusuran yang terjadi karena pemerintah kabupaten/kota atau kementerian merasa tidak memiliki payung hukum untuk melakukan penanganan dampak sosial sebagaimana yang telah diatur.
Pengaturan yang menyaratkan harus penguasaan selama 10 tahun dan memiliki identitas atau surat keterangan kependudukan yang disahkan oleh kecamatan setempat, sebaiknya dihapus. Yang harus diperbaiki sebaiknya dari sisi pemilik aset harus menjaga dan memfungsikan asetnya agar tidak idle dan dimanfaatkan warga masyarakat yang membutuhkan. Kemudian kewajiban negaralah (yang dijalankan oleh pemrintah) mewujudkan kesejahteraan warga negaranya sebagaimana amanah pembukaan UUD 45 dan pasał 33 UUD 45.
Kesimpulan
Meskipun perubahan regulasi telah mengatasi beberapa masalah utama, hambatan signifikan tetap ada:
- Lingkup Terbatas pada Proyek PSN dan Non-PSN: Regulasi penanganan dampak sosial hanya mencakup dua kategori proyek ini. Akibatnya, banyak proyek lain tidak memiliki kerangka hukum untuk menangani dampak sosial, memaksa pemerintah daerah atau kementerian mengandalkan penggusuran sebagai solusi default.
- Persyaratan Penguasaan dan Identitas yang Tidak Realistis: Persyaratan penguasaan tanah selama 10 tahun dan identitas resmi masih bersifat eksklusif. Meskipun ada fleksibilitas dalam aturan baru terkait waktu penguasaan, ketentuan ini belum sepenuhnya dipahami atau diterapkan dengan baik.
- Keraguan di Kalangan Pemerintah Daerah: Banyak pemerintah daerah enggan menerapkan regulasi ini karena khawatir salah tafsir atau terbebani oleh beban administrasi tambahan.
Rekomendasi
Untuk mengatasi tantangan ini, berikut adalah beberapa perubahan yang direkomendasikan untuk pembaruan regulasi mendatang:
- Perluas Lingkup di Luar Proyek PSN dan Non-PSN: Regulasi sebaiknya mencakup proyek pembangunan lainnya, memastikan perlindungan bagi semua komunitas terdampak, terlepas dari kategori proyeknya.
- Hapus Kriteria yang Membatasi: Hilangkan persyaratan penguasaan tanah selama 10 tahun dan identitas resmi. Sebagai gantinya, tanggung jawab diberikan kepada pemilik aset untuk menjaga dan memanfaatkan properti mereka secara efektif agar tidak idle atau disalahgunakan.
- Perkuat Kewajiban Negara: Pemerintah harus menegakkan kewajibannya sesuai konstitusi untuk menyediakan kesejahteraan sosial dan perlakuan yang adil bagi semua warga negara, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.